Rabu, 24 Juni 2015

Ke Mana Aja Kitaa?

—Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka..— QS. At-Tahrim : 6

Usai shalat tarawih di sebuah desa yang asri di pinggiran kota Semarang. Lantunan ayat suci terdengar melalui pengeras suara berbagai masjid yang tersebar. Muda maupun dewasa tak kalah semangat berlomba-lomba melantunkan ayat suci dengan sebaik-baiknya.

Begitu juga dengan musholla kecil di desa yang tak jauh dari Kota Semarang ini. Musholla yang sangat tua dan mulai sepi dari jama'ah. Dulu, musholla ini dipenuhi warga desa untuk sholat dan belajar. TPA pun dulu juga masih ramai. Sampai beberapa tahun kemudian, pengajar TPA musholla itu pindah ke kota karena hal yang sangat penting. Karena itulah, TPA itu akhirnya tak bergerak dan mati.

Malam itu, lima orang remaja berkumpul untuk mengaji bersama. Tak luput dari mikrofon yang diletakkan di depan para pembaca. Satu di antara mereka adalah remaja asli desa tersebut yang beberapa pekan yang lalu baru saja lulus dari pondok pesantren di Kota Semarang. Sebut saja Rindu. Dan empat orang yang lain adalah remaja asli desa tersebut. Ani, Indi, Cika, dan Dinda. Rindu adalah remaja tertua di lingkaran itu. Ani setahun lebih muda. Dan yang lain enam sampai tujuh tahun lebih muda dari Rindu.

R:  Siapa dulu ini, Mbak yang ngaji? Saya ngikut aja.

A: Mbak aja dulu gak papa Mbak.

R: Cika dulu aja ya?

C: Nggak. Mbak dulu aja. Nanti aku banyak salahnya. Malu aku Mbak. Mbak aja, ya?

R: Yaudah Indi dulu aja deh ya. Nanti aku habis kamu.

I: Sebenernya aku juga malu mbak. Tapi daripada lama-lama, yaudah gak papa Mbak.

Mulailah Indi dengan bacaannya yang seadanya. Berusaha baik, namun kemampuannya yang belum seberapa juga tak bisa tertutupi. Tak lancar. Begitu juga Cika dan Dinda. Hanya Ani yang lumayan lancar walaupun juga banyak yang harus diperbaiki.

Rindu mulai terketuk hatinya mendengar lantunan mereka. Ke mana saja dia? Saudaranya di sini masih seperti ini keadaannya. Di mana para seniornya dulu yang mengajarinya mengaji? Ah, jangan menyalahkan yang lain jika dirinya sendiri pun belum berusaha turun tangan mengahadapi keadaan seperti ini.

Beberapa orang hanya mengomel jika mendengarkan lantunan ayat suci yang tak benar. Padahal, seharusnya orang-orang itu juga harus bertanya para diri mereka, 'Apa yang telah saya lakukan pada mereka? Apakah saya telah mengajarkan bagaimana membaca ayat-ayatNya dengan baik?'

Sepertinya, desa ini adalah desa yang sedikit 'terabaikan' oleh warganya sendiri masalah belajar agama. TPA yang tak lagi dihidupkan memberi akibat pada anak-anaknya yang tak bisa membaca qur'an dengan baik. Orangtua mereka pun juga tak membiasakan mereka untuk membaca qur'an. Padahal, hal-hal kecil itu termasuk awal dari kunci untuk memahami islam secara lebih dalam.

Tak ada semangat untuk membenahi berarti kunci menuju kerusakan. Tak hanya desa tersebut, namun di sekeliling kita mungkin juga banyak yang terjadi seperti yang ada di desa tersebut. Lalu ke mana saja orang-orang yang lebih memiliki kemampuan? Apa yang sudah kita lakukan untuk menyelamatkan mereka dari ketidakbisaan itu menjadi bisa? Banyak orang yang pergi belajar ke luar kota namun hanya untuk dirinya sendiri. Pulang ke rumah dan tak mau mengerti keadaan saudara-saudaranya. Mengasah kemampuan dan tak mau menularkan kemampuannya. Mungkin itu termasuk saya sendiri.

Kesadaran harus mulai ditanamkan pada diri kita. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang ditularkan kepada orang lain dengan mengajarkan dan mencontohkan ilmu tersebut. Tentunya dalam kebaikab dan takwa. Lalu apa yang sudah kita lakukan?

Mari kita mulai memanfaatkan ilmu yang kita miliki untuk menyelamatkan saudara-saudara kita dari kesesatan. :)

—Mari kita biasakan diri kita dan keluarga kita untuk membaca qur'an dan ibadah lainnya setiap hari—

Memberikan kemanfaatan diri kita bukankah cara terbaik untuk menunjukkan jalan menuju Rabb kita? Kita memiliki ilmu yang memadai, maka mari pergunakan untuk kembali meluruskan saudara-saudara kita  :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar