Senin, 02 November 2015

KAU

Kau datang mengahmpiriku ketika aku telah menghapusmu dari hidupku
Mencariku ketika aku telah berlari meninggalkan semua masa lalu yang kelam
Kau kembali lagi ketika aku telah pergi
Membuatku kembali berputar kembali menuju masa laluku

Sabtu pagi, 31 November 2015
Entah mengapa aku hanya ingin berkumpul dengan teman-teman baruku di tempat yang biasa kami jadikan tempat untuki bercengkerama. Kami berdiskusi banyak hal dan menegerjakan banyak hal pula seperti tugas-tugas yang tak akan pernah kosong di setiap harinya.

"Fai, ada orang yang mencarimu di depan gerbang!"
Dalam hatiku bertanya, siapa yang mencariku? Kulangkahkan kakiku menuju gerbang masuk sambil bertanya-tanya tentunya. Kubuka perlahan gerbang itu. betapa terkejutnya diriku ketika melihat sesosok masa lalu yang telah lama tak bertemu.
"Faira?"
"Ya?" dengan bergetar kujawab panggilannya.
"Lama kita tak bertemu. Apa kabar?"
Sungguh aku tak mengerti mengapa hatiku terlalu tegang menghadapi keadaan ini.
"Ba..baik. Kamu bagaimana?"
"Baik, Fai."
"Ehm, maaf. kamu mau masuk? Aku masih ada kerja kelompok."
"Oh, oke. Aku tunggu di ruang tamu."

Aku menghilang di balik dinding. Kupercepat langkahku menuju tempatku berdiskusi dengan teman-teman baruku.
"Siapa, Fai?"
"Temen."
"Oh, yasudah Fai. Diskusi kita sudah cukup mungkin ya. Tugas kita juga sudah selesai kok.Besok lagi mungkin kita teruskan. Temani tamumu ya. Kita pulang."
"Kalian pulang?" Aku bertanya dengan wajah yang tak bisa kutentukan aku berada dalam keadaan yang bagaimana.
"Ya. Kami pulang dulu. Selamat bertemu di kampus, Fai."
"Oh iya. Makasih semua."

Setelah semua pergi dari diskusi ini dan hanya aku sendiri bersama tamuku.
"Fai, kaget ya?"
"Ah, apa?" pikiranku sungguh kacau. Antara kaget dan bingung aku harus bersikapseperti apa.
"Hai, kamu kenapa?" itu pertanyaan yang menyentil hatiku. Aku tak kuasa menahan air mataku yang tiba-tiba ingin turun. Memori yang sekian lama aku tinggalkan dan kututup dengan perlahan muncul lagi dalam otakku. Bayangan itu sekarang di hadapanku.
"Ri, kenapa kau datang lagi?"
"Fai,aku hanya ingin melihatmu. Aku rindu. Apa aku salah?"
"Salah, Ri. Salah."
"Apa yang salah? Aku hanya ingin melihatmu.Itu saja."
"Tapi aku tak ingin kau datang lagi." Isakku semakin menjadi-jadi. Aku tak kuasa mengontrol hatiku yang semakin bergejolak dengan berbagai hal.
"Oke, baiklah aku akan pergi, Fai. Melihatmu sudah cukup membuatku lega. Setidaknya aku tahu kau baik-baik saja. Selamat tinggal, Fai."

Aku terdiam. Sejujurnya, aku sangat merindukannya. Sangat sangat merindukannya. Aku ingin mengejarnya, tapi kakiku tiba-tiba kaku untuk melangkah. Akhirnya, keputusan ini aku ambil.
"Ri, tunggu!" Dia melangkah lebih cepat. Menuju taksi yang terdekat darinya. Oh tidak. Aku terlambat. Aku mencoba mengejarnya lagi, lagi dan lagi. Percuma. Kecepatanku berlari tentu tak sebanding dengan kecepatan taksi itu. Aku mulai putus asa.

"Fai, masuk!" Aku menolehkan wajahku kepada suara yang memanggil namaku.
"Ri?"
"Ayo cepat masuk, Fai." Aku melangkahkan kakiku mendekati taksi yang dia tumpangi. Air mataku masih saja turun membasahi wajahku. Entah mengapa, dia mengulurkan tangannya menghapus air mataku. "Fai, aku mencoba memenuhi janjiku untuk menemuimu. Aku tau bertahun-tahun kita tak berjumpa. Aku berusaha mencari semua kontakmu dan akhirnya aku menemukannya. Walaupun kita hanya berinteraksi melalui chat-chat yang hanya sebentar itu, aku sudah cukup senang mendengar kabarmu. Fai, apa aku datang di saat yang tidak tepat?" Dia menjelaskan semuanya sementara taksi terus melaju membawaku dan dirinya entah ke mana.

Aku hanya diam disampingnya. Melemaskan semua persendianku, menenangkan semua perasaanku. Aku di sini, Ri. "Kita mau ke mana?" Aku bertanya padanya. "Tempat favoritku, Fai." "Untuk apa kita ke sana?" "Aku ingin membayar semua kesalahanku."

Aku tak mengerti apa yang dia pikirkan. Aku juga tak mengerti mengapa diriku dengan mudah mengizinkannya masuk kembali dalam cerita hidupku. Aku hanya mengizinkanmu kali ini saja. Memenuhi kerinduan yang selama ini kau tutupi dari semuanya.

Kau datang dengan tiba-tiba
Aku hanya tak mengira janjimu itu benar-benar kau lakukan
Aku hanya bisa menggambar wajah masa kecilmu yang terbayang-bayang bersama suaramu
Hanya itu memori yang susah untuk kuhapus dari ingatanku
Walaupun pertemuan itu telah terjadi, aku tak bisa mengingat wajahmu lagi, kecuali wajah masa kecilmu
Hanya wajah dan suara masa kecilmu
Hanya itu

Kamis, 17 September 2015

Bahagia Atas Suksesmu, Kawan

Lama banget gak sih aku gak update blog ini. Abis serangkaian acara ospek yang melelahkan, akhirnya aku buka blog ini lagi ya :'). Alhamdulillah.

Edisi ini aku pengen banget berbagi kisah. Hiks hiks. Aku amat sangat bahagia tak terkira, tapi aku juga sedih. Ih campur aduklah pokoknya.

Hai, Ica, Rici, Alwan, Hilmi, Gilang. Aku seneng banget kalian akhirnya bisa berangkat ke tempat yang jauh di sana mengejar mimpi kalian. Aku bangga banget punya temen kaya kalian.

Buat Ica yang satu-satunya cewe di antara mereka berlima. Cie yang hari ini bakal ninggalin aku lebih jauh lagi. Sekarang pasti lagi siap-siap di bandara. Ya kan? Gak banyak kenangan yang kita buat mungkin. Gak sebanyak kamu dan temen-temen lain yang emang lebih deket sama kamu daripada aku. Tapi yakin, Ca. Aku bakal kangen banget sama kamu (duh ngetik sambil netes nih). Aku cuma bisa do'a dari jauh buat kesuksesan kita bareng-bareng. Gak tau kapan kita bisa ketemu lagi. Tapi yang jelas ukhuwah kita selalu erat ya :))
Jadi flashback kan ._. jadi inget waktu sekamar setahun, gimana kalau udah saling ngetawain, gimana kalau udah jadi orang sok sibuk di antara yang lain, gimana jadi kakak paling kece di mata adek kelas. Aaah Icaaa. Gimana waktu nyasar bareng-bareng di MOI cuma buat nonton Rio 2. Masih inget banget gimana waktu kamu ngatain aku pake si 'mereka'. Gak ada Ica lain di sinilah pokoknya.
Kapan-kapan ajak akulah ke sana ya, Ca. Ih, padahal baru sebulan kemaren ketemu. Udah berasa lama banget ya. Jangan lupain aku, temen-temen Astonic juga ya.

Buat para cowo, Alwan, Hilmi, Rici, Gilang. Mungkin aku gak sering banget ketemu sama kalian. Gak sesering aku sama Ica. Tapi adalah yang rasa sedih kalian tinggal tuh. Alhamdulillah kita masih bisa ketemu sepekan dua pekan yang lalu. Seenggaknya bisa ngelegain unek-unek sama ketemu terakhir sebelum kalian pergi jauh. Makasih banget udah nyempetin buat nyamperin kita sebelum kalian pergi. Makasih banget udah jadi bagian dari cerita hidup aku :'). Tanpa kalian Astonic bukan Astonic yang hebat. Aku seneng punya temen kaya kalian. :))

Pesan aku buat kalian semuaa
Jangan pernah lupa sama Allah, jaga ibadah yaumiyahnya ya, belajar yang bener jauh dari orangtua, jauh dari kampung halaman. Jangan lupa balik lagi ke sini ya. Jaga diri kalian baik-baik. Jangan putus silaturrahim, ukhuwahnya tetep dijaga ya. Jangan seenaknya ngelupain kita yang ada di sini. Banyak banyak syukur dan dzikir :)) Hati-hati di sanaaa.

Tetep semangat buat jadi yang terbaik. Do'ain aku cepet nyusul pergi ke belahan bumi yang lain buat belajar ilmu lain.

SUKSES BARENG BARENG LEBIH SERU KAAAN??!
semangat dan tetao tersenyum :))

Kamis, 25 Juni 2015

Menikah (?)

Huaah. Akhirnya ngetik lagi  :)
Kali ini bahasannya rada sensitif ya. Seputar jodoh. Hoho. Semoga aja ngena yaa. Hehee --v

Nasihat ini aku dapat dari temen seperjuangan aku waktu masih SMP. Dari bundanya deng.

'Bukan berarti kami tidak pernah mempercayaimu untuk bisa menjaga dirimu sendiri di luar sana. Namun, kami hanya tak percaya pada kerasnya dunia. Kami sering menemui hal-hal yang tak kami inginkan. Dan menikah muda adalah solusinya.'

Menikah. Adalah hal yang sangat berkaitan dengan memilih. Menikah adalah sebuah pilihan hidup. Apalagi bagi remaja seusia kita. (Re:17-19 th). Bukanlah hal yang memalukan jika pilihan kita jatuh pada menikah usia muda. Pilihan itu adalah pilihan yang berani. Sangat berani malah. Dan saya salut kepada mereka yang menjatuhkan pilihannya pada pilihan ini karena alasan menghindarkan diri dari fitnah.

'Kami tidak pernah mengetahui solusi lain untuk dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan' HR. Ibnu Majah.

Pernikahan adalah sebuah solusi. Daripada cinta yang dilanjutkan dengan hubungan yang tak pernah diridhai Allah. Pernikahan adalah solusi yang tepat.

Sekali lagi, saya sangat salut kepada mereka yang memiliki niat yang tulus dalam menyempurnakan diinNya melalui pernikahan. Pernikahan yang menjaga diri dari maksiat dan zina. Pernikahan yang mendekatkan diri dengan Rabbnya.

Barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair :)
Selamat menempuh hidup baru kawaan  :)


Rabu, 24 Juni 2015

Teman :)

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkanmu di sampingku untuk membimbingku berjalan di jalan terbaik-Nya?

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkanmu untuk menghibur diriku yang bersedih ketika melakukan kesalahan kepada-Nya?

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkanmu berada di sampingku untuk mendengarkan celoteh bibirku akan pengalamanku?

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkanmu untuk selalu mengingatkanku ketika aku lalai?

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkanmu untuk menemani langkahku menuju mimpiku?

Sadarkah dirimu jika aku membutuhkan bantuanmu dalam kebaikan dan takwa?

Sadarkah dirimu jika aku terluka karena kau marah padaku?

Sadarkah dirimu jija aku sakit karena kau diamkan aku?

Sadarkah dirimu jika aku tak pernah tenang karena kau menjauhiku?

Sadarkah dirimu jika aku berpikir apa yang terjadi padamu sehingga kau seperti ini padaku?

Sadarkah dirimu jika aku tak bisa membiarkanmu membenciku?

Pertemanan selalu butuh pengorbanan. Pertemanan selalu butuh 'saling'. Pertemanan selalu butuh memilih.

Pertemanan juga butuh kata 'maaf'. Dan aku membutuhkan kata itu untuk meminta pengertianmu. Dan aku membutuhkan kata itu untuk memperbaiki kesalahanku. Dan aku membutuhkan kata itu untuk mengakui ketidaksadaranku terhadapmu.

Pertemanan juga butuh terima kasih. Dan aku selalu membutuhkan kata itu untuk semua yang telah kau lakukan untuk kebaikanku.

:))

Ke Mana Aja Kitaa?

—Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka..— QS. At-Tahrim : 6

Usai shalat tarawih di sebuah desa yang asri di pinggiran kota Semarang. Lantunan ayat suci terdengar melalui pengeras suara berbagai masjid yang tersebar. Muda maupun dewasa tak kalah semangat berlomba-lomba melantunkan ayat suci dengan sebaik-baiknya.

Begitu juga dengan musholla kecil di desa yang tak jauh dari Kota Semarang ini. Musholla yang sangat tua dan mulai sepi dari jama'ah. Dulu, musholla ini dipenuhi warga desa untuk sholat dan belajar. TPA pun dulu juga masih ramai. Sampai beberapa tahun kemudian, pengajar TPA musholla itu pindah ke kota karena hal yang sangat penting. Karena itulah, TPA itu akhirnya tak bergerak dan mati.

Malam itu, lima orang remaja berkumpul untuk mengaji bersama. Tak luput dari mikrofon yang diletakkan di depan para pembaca. Satu di antara mereka adalah remaja asli desa tersebut yang beberapa pekan yang lalu baru saja lulus dari pondok pesantren di Kota Semarang. Sebut saja Rindu. Dan empat orang yang lain adalah remaja asli desa tersebut. Ani, Indi, Cika, dan Dinda. Rindu adalah remaja tertua di lingkaran itu. Ani setahun lebih muda. Dan yang lain enam sampai tujuh tahun lebih muda dari Rindu.

R:  Siapa dulu ini, Mbak yang ngaji? Saya ngikut aja.

A: Mbak aja dulu gak papa Mbak.

R: Cika dulu aja ya?

C: Nggak. Mbak dulu aja. Nanti aku banyak salahnya. Malu aku Mbak. Mbak aja, ya?

R: Yaudah Indi dulu aja deh ya. Nanti aku habis kamu.

I: Sebenernya aku juga malu mbak. Tapi daripada lama-lama, yaudah gak papa Mbak.

Mulailah Indi dengan bacaannya yang seadanya. Berusaha baik, namun kemampuannya yang belum seberapa juga tak bisa tertutupi. Tak lancar. Begitu juga Cika dan Dinda. Hanya Ani yang lumayan lancar walaupun juga banyak yang harus diperbaiki.

Rindu mulai terketuk hatinya mendengar lantunan mereka. Ke mana saja dia? Saudaranya di sini masih seperti ini keadaannya. Di mana para seniornya dulu yang mengajarinya mengaji? Ah, jangan menyalahkan yang lain jika dirinya sendiri pun belum berusaha turun tangan mengahadapi keadaan seperti ini.

Beberapa orang hanya mengomel jika mendengarkan lantunan ayat suci yang tak benar. Padahal, seharusnya orang-orang itu juga harus bertanya para diri mereka, 'Apa yang telah saya lakukan pada mereka? Apakah saya telah mengajarkan bagaimana membaca ayat-ayatNya dengan baik?'

Sepertinya, desa ini adalah desa yang sedikit 'terabaikan' oleh warganya sendiri masalah belajar agama. TPA yang tak lagi dihidupkan memberi akibat pada anak-anaknya yang tak bisa membaca qur'an dengan baik. Orangtua mereka pun juga tak membiasakan mereka untuk membaca qur'an. Padahal, hal-hal kecil itu termasuk awal dari kunci untuk memahami islam secara lebih dalam.

Tak ada semangat untuk membenahi berarti kunci menuju kerusakan. Tak hanya desa tersebut, namun di sekeliling kita mungkin juga banyak yang terjadi seperti yang ada di desa tersebut. Lalu ke mana saja orang-orang yang lebih memiliki kemampuan? Apa yang sudah kita lakukan untuk menyelamatkan mereka dari ketidakbisaan itu menjadi bisa? Banyak orang yang pergi belajar ke luar kota namun hanya untuk dirinya sendiri. Pulang ke rumah dan tak mau mengerti keadaan saudara-saudaranya. Mengasah kemampuan dan tak mau menularkan kemampuannya. Mungkin itu termasuk saya sendiri.

Kesadaran harus mulai ditanamkan pada diri kita. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang ditularkan kepada orang lain dengan mengajarkan dan mencontohkan ilmu tersebut. Tentunya dalam kebaikab dan takwa. Lalu apa yang sudah kita lakukan?

Mari kita mulai memanfaatkan ilmu yang kita miliki untuk menyelamatkan saudara-saudara kita dari kesesatan. :)

—Mari kita biasakan diri kita dan keluarga kita untuk membaca qur'an dan ibadah lainnya setiap hari—

Memberikan kemanfaatan diri kita bukankah cara terbaik untuk menunjukkan jalan menuju Rabb kita? Kita memiliki ilmu yang memadai, maka mari pergunakan untuk kembali meluruskan saudara-saudara kita  :)


Selasa, 23 Juni 2015

Rabithah Kami

—Wa allafa baina quluubikum lau anfaqta maa fil ardhi jamii'an maa allafta baina quluubihim walaakinnallaaha allafa bainahum innahu 'aziizun hakiim— QS. Al-Anfal:63

—Dan Dia (Allah) yang Mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah Mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana—

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini tlah berpadu
Berhimpun dalam naungan cinta-Mu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syari'at dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya
Tegakkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Terangilah dengan cahya-Mu yang tiada pernah padam
Ya Rabbi, bimbinglah kami

Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman
Dan indahnya tawakkal pada-Mu
Hidupkan dengan ma'rifat-Mu
Matikan dalam syahid di jalan-Mu
Engkaulah Pelindung dan Pembela

Kuatkanlah ikatannya
Tegakkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Terangilah dengan cahya-Mu yang tiada pernah padam
Ya Rabbi, bimbinglah kami

Disaat semua telah berbeda dan hanya do'a yang bisa mengikat kebersamaan kita  :)

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu  :)

Minggu, 21 Juni 2015

Belajar dari Hidup

Bener gak sih kalau aku bilang, "Terkadang kita tidak mudah mengambil pelajaran hidup dari perkataan seseorang, namun terkadang kita lebih mudah belajar dari sesuatu yang kita lihat dari kehidupan seseorang"

Mungkin itu yang tengah aku alami sekarang. Belajar dari kehidupan orang lain terkadang membuatku lebih bisa membuka pemikiran baru, membuka mata hati untuk bisa memahami orang lain dengan kehidupannya.

Tak semua orang dilahirkan dalam keadaan mampu secara finansial. Tak semua orang dilahirkan dalam keadaan berkecukupan. Diantara mereka pun juga banyak cara dalam menyikapi hidup. Entah itu dengan semakin bersyukur atau malah dengan semakin menjauh dari Rabbnya.

Pada kali ini, sepertinya aku ambil contoh dua keluarga yang menurutku lumayan berbeda dalam segi ibadah dan lancarnya rezeki.

Keluarga pertama. Sepasang suami istri ini memiliki tujuh orang anak. Bekerja sebagai pedagang kaki lima di sebuah pinggiran kota. Walaupun begitu, mereka sekeluarga tak pernah alpa dalam menjalankan sholat berjamaah. Setiap maghrib selalu sholat berjamaah bersama keluarga di rumah mereka. Suami istri ini dengan sabar membimbing anak-anaknya dalam belajar mengaji. Walaupun juga harus memasukkan anak-anaknya ke madrasah sore yang tentunya juga membutuhkan biaya.

Suami istri ini begitu percaya bagaimana Allah akan memberikan keberkahanNya melalui usaha, do'a, dan juga anak-anaknya. Seperti apa yang dibilang, banyak anak banyak rezeki.

Setiap hari mereka harus bangun pagi untuk menyiapkan dagangan mereka. Tak terkecuali anak-anak. Anak-anak mereka rela membantu orangtua mereka dengan bangun pagi dan menyiapkan persiapan dagangan untuk esok hari usai sekolah.

Begitulah keseharian keluarga ini. Tak pernah keluarga ini mencari pinjaman ke sana ke mari kecuali memang mereka sangat membutuhkan. Walaupun diliputi kekurangan harta, namun kecintaan satu sama lain memberi kekuatan untuk tegar. Memberi kekuatan untuk tetap berjalan di jalan lurusNya. Kesederhanaan mereka menjadi pelajaran hidup bagi orang lain di sekitar mereka.

Keluarga yang kedua. Suami istri ini memiliki satu orang anak. Istrinya jarang ada di rumah karena bekerja di luar kota. Sedangkan si suami merawat si anak dengan bekerja serabutan. Keluarga kecil inu sebenarnya sama dengan keluarga yang pertama, hidup dalam kekurangan. Namun, cara mereka dalam menghadapi keadaan ini berbeda.

Setiap sang istri pulang ke rumah, tak jarang terdengar pertengkaran kecil di rumah mereka. Kepercayaan antar mereka tak sebegitu besar seperti keluarga yang pertama. Mereka jarang bersama untuk melakukan sholat berjamaah. Bahkan terkadang malah meninggalkannya.

Entah mengapa, seharusnya keluarga kedua ini lebih berkecukupan dengan sang istri yang juga bekerja di luar kota dan menghidupi satu orang anak saja. Namun, pada nyatanya keluarga ini tak pernah tenang dan tak jarang mencari pinjaman kepada orang lain. Satu anaknya pun juga sempat putus sekolah selama beberapa tahun. Kedekatan mereka kepada Rabbnya pun juga tak kunjung membaik, malah semakin jauh.

Perbandingan antara dua keluarga yang sama namun berbeda. Tak semua orang bisa membaca petunjuk dan hidayahNya yang telah Dia berikan kepada manusia. PetunjukNya begitu banyak bertaburan di muka bumi ini, tinggal bagaimana kita bisa membacanya. HidayahNya hanya diberikan pada orang-orang yang mau menerima hidayahNya. Dan itulah kunci agar kita bisa membaca petunjuk dari Sang Maha Segalanya.

—Orang mukmin yang percaya pada Allah, hikmahNya, dan rahmatNya akan semakin bertambah melindungkan diri pada Allah, semakin merendahkan diri dan semakin takut padaNya. Sedangkan orang yang fasik atau munafik akan menggoncangkan hatinya dan menjadikan hatinya semakin jauh dari Allah serta mengeluarkannya dari barisanNya. Dan jika kelapangan dianugerahkanNya pada orang mukmin, mereka bertambah keimanan dan ketakwaannya, bertambah kesadaran, kepekaan, dan kesyukurannya. Sedangkan bagi orang fasik atau munafik, maka kenikmatan itu akan menjadikan mereka sombong dan menyimpang.— {Fi Zhilalil Qur'an 1, hal 61}

Mari kita contoh keluarga yang pertama dalam menyikapi hidup kita. Wallahu a'lam bishowab  :)

Jumat, 19 Juni 2015

Kita Teman Kan?

Mengapa terkadang pertemanan itu menyulut api kecil menjadi besar?

Mengapa terkadang pertemanan itu membuat saling terluka?

Mengapa terkadang pertemanan itu menuntut untuk saling mengerti satu sama lain?

Mengapa terkadang pertemanan itu mengharuskan diri untuk mengalah karenanya?

Hai, itu cuma TERKADANG bukan? Karena pertemanan dan persahabatan itu tak akan manis dan tak akan bertambah manis tanpa cobaan.
Kapan kita belajar untuk menyelesaikan masalah walaupun hanya sepele? Kapan kita belajar untuk memaafkan dan mengobati luka? Kapan kita belajar mengahargai satu sama lain? Kapan kita belajar mengalah dan berpikir positif terhadap orang lain?

Mungkin hal hal kecil itu bisa dimulai dari pertemanan dan persahabatan. Bagaimana kita memahami teman kita, bagaimana kita menyelesaikan masalah antara teman kita, bagaimana kita memaafkan satu sama lain, bagaimana kita selalu berusaha berpikir positif tentang tindakan yang diambilnya. Dan segala hal.

Bagaimana kita mengerti dan memahami perasaan teman kita akan suatu hal. Bagaimana kita mengerti bahwa ia membutuhkan pengertian kita akan suatu hal yang benar-benar ia tak sukai.

Terkadang muncul sebuah pertanyaan, apakah sebuah pertengkaran itu bisa kuikhlaskan hanya karena hal yang sangat sepele namun itu menyangkut prinsipku? Hidup benar-benar harus memilih.

Tapi beberapa orang memilih, 'Biarlah pertengkaran itu terjadi. Karena aku tak mau kehilangan prinsipku. Biarlah dia mengerti bagaimana tegasnya aku dalam berprinsip. Aku yakin, jika dia teman yang baik, dia bisa mengerti keadaanku, memahami posisiku, dan menghargai prinsipku.'

Berbagai penjelasan mungkin diperlukan untuk menciptakan pengertian. Penjelasan yang berbuah perdamaian dan semakin manisnya persahabatan.

Hai, siapa yang betah berlama-lama berdiam dengan temannya? Siapa betah punya masalah dengan temannya? Apalagi jika orang itu sangat berarti untuknya.

Jika aku orang itu, aku jawab, aku tak akan betah di posisi itu. Bukankah lebih baik aku segera meminta maaf dan memberi penjelasan walaupun itu hanya tertulis? Yah, itu caraku.

Menghargai pertemanan itu indah. Jangan biarkan pertemanan itu rusak karena hal hal yang tidak seharusnya menjadi permasalahan. Semua masalah pasti ada jalannya. :)

Terima kasih teman  :) semuanya pasti akan lebih baik atas izinNya, bukan?

RENUNGAN :)

Hai, teman temaaan. Akhirnya aku berkesempatan nengok blog ini lagi. Akhiryaaa. Kali ini mungkin aku lebih membahas tentang beberapa renungan yang aku pikirkan beberapa hari ke belakang.
Cerita fakta mungkin. Beberapa teman pasti bisa nebak ini tokohnya siapa aja. Hoho. Yuuk mulai
Suatu hari di kota Yogyakarta usai melaksanakan berbagai macam ujian. Sebut saja dia Alfa. Alfa dan teman-temannya sedang berbincang membahas suatu hal.

B: Fa, kok aku takut ya sekolah di jakarta lagi. Gak bisa bayangin gimana pergaulannya nanti.

A: Hehe. Aku juga gak pernah punya pikiran mau ke sana.  Pernah sih mikir, tapi aku langsung hapus jauh jauh.  Abisnya aku takut ntar aku jadi macem macem

C: Eh, iyasih. Tapi tergantung kitanya juga kan. Kalau orang yang kaya Teta mah insya Allah bisa jaga diri dan tetep istiqamah. Semua kembali ke diri kita sendiri kan? Harusnya orang kaya Alfa bisa tau, Fa. Asal kamu tetep istiqamah

A: Iya. Harusnya. Tapi, tiga tahun ini aja aku udah banyak berubah.

C: iyasih. Mana jilbab panjang kamu, mana antengnya kamu, mana kamu yang duluuu. Manaaa faa? Aduh jadi alay gini. Hoho

A: iyatuh alay banget tau. Tapi emang sih. Aku ngerasa berubah. Tiga tahun itu banyak merubah aku. Makasih ya pandangan kamu tentang aku. Tinggal akunya nih. Hehe

Tiga tahun memang tidak singkat, tapi juga tidak lama. Mengalami masa tiga tahun tanpa prinsip itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan orang yang sudah berprinsip pun terkadang bisa berubah hanya karena hal yang remeh temeh. Tanpa didasari keinginan untuk kuat dan teguh berpegang prinsip, terkadang manusia memainkan logika berpikirnya dan melakukan hal -hal yang dianggapnya tidak melanggar prinsipnya. Padahal, setahun dua tahun yang akan datang dia sadar dia pasti akan menyesali perbuatannya. Karena sesungguhnya hal yang dianggapnya remeh dan kecil itu menjadi titik balik bagi dirinya sendiri.

Membentengi diri dengan tetap pada prinsip mungkin hal yang tidak gampang, namun kita pasti bisa merasakan hasilnya kelak dengan hasil yang memuaskan. Semua akan indah pada waktunya. Yakinlah.

Berprinsiplah dengan prinsip yang kau yakini benar. Berprinsiplah sesuai yang telah diperintahkanNya pada kita semua. Berprinsiplah sesuai dengan syariatNya. Ikuti hati nuranimu. Karena hati tak akan salah memilih jika Allah menghendaki kita berada tetap pada jalanNya.

Jangan menukar prinsip yang telah kita persiapkan jauh-jauh hari dengan hal yang terlihat menyenangkan namun fana. Jangan menukar prinsip dengan hal yang bisa merusak ketaatan padaNya.

Mari berprinsip sesuai dengan syariatNya.  :)
Semua kan indah pada waktunya
Semangat dalam kebaikan.  :)